Sejarah Perkembangan Islam
Sejarah perkembangan Islam berlanjut setelah Nabi Muhammad SAW
wafat. Berbagai kerajaan Islam bermunculan dan berkembang hingga ke Samudra
Atlantik di barat dan Asia Tengah di Timur. kemunculan beberapa kerajaan Islam
seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman,
Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan besar
di dunia.
Seiring dengan perkembangan berbagai kerjaan bercorak Islam yang
bermunculan, maka seiring itu pula banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat
dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam.
Kemunculan para ahli sains dari kerajaan Islam tersebut tidak terlepas dari
banyaknya pendirian sekolah-sekolah.
Sejarah Islam di Indonesia
Menelisik sejarah Islam di Indonesia, maka hingga saat ini ada
sekitar 6 pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia. Adapun
pendapat-pendapat tersebut menyebutkan tahun kedatangan Islam masuk ke
Indonesia bervariasi dari abad ke-7 hingga abad ke-13.
Berbagai pendapat-pendapat tentang tahun kedatangan Islam
beserta perkembangannya di Indonesia dikemukakan oleh berbagai tokoh dan
peneliti. Berikut ini adalah 6 pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pendapat Pertama
Menurut pendapat Hamka, yaitu salah seorang tokoh Muhammadiyah dan juga mantan ketua MUI periode 1977-1981, menyebutkan bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7. Hamka yang bernama asli Haji Abdul Malik bin Abdil Karim menyatakan pendapat tentang kedangan dan perkembangan Islam di Indonesia berdasarkan fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurut pendapat Hamka, yaitu salah seorang tokoh Muhammadiyah dan juga mantan ketua MUI periode 1977-1981, menyebutkan bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7. Hamka yang bernama asli Haji Abdul Malik bin Abdil Karim menyatakan pendapat tentang kedangan dan perkembangan Islam di Indonesia berdasarkan fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurut Hamka, mahzab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh
penduduk di sekitar Makkah. Selain itu dia juga menyebutkan bahwa fakta tentang
yang tidak boleh diabaikan terkait hal ini, yaitu tentang keberadaan
orang-orang Arab yang sudah mampu berlayar mencapai Cina pada abad ke-7. Hamka
percaya bahwa dalam perjalanan tersebut, para pelayar dari Arab juga sudah
mulai singgah di kepulauan Nusantara.
Pendapat Kedua
Seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda bernama Poortman menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina yang bermahzab Hanafi.
Seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda bernama Poortman menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina yang bermahzab Hanafi.
Kesimpulan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia oleh
Poortman tersebut didapatkan dari penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah
Jawi dan Serat Kanda. Selain dari penelitian dari kedua naskah tersebut dia
juga telah melanjutkan penelitian terhadap naskah-naskah kuno Cina yang
tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang.
Adapun hasil penelitian dari Poortman tersebut disimpan dengan
keterangan ‘Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore’ yang berarti ‘Sangat
Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor’. Hasil penelitian Poortman itu sendiri
saat ini telah disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haag.
Pendapat Ketiga
Seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda bernama Snouck Hurgronje yang mengambil pendapat dari Pijnapel, yaitu seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia, menyimpulkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat Ketiga
Seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda bernama Snouck Hurgronje yang mengambil pendapat dari Pijnapel, yaitu seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia, menyimpulkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette, yaitu seorang
peneliti bentuk nisan kuburan raja-raja pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih,
dan juga Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Adapun
hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di
Gresik ternyata memiliki bentuk yang mirip dengan nisan-nisan kuburan yang
berada di Cambay, Gurajat.
Pendapat Keempat
S.Q. Fatimi adalah salah seorang yang berpendapat tentang sejarah Islam di Indonesia dan sekaligus menyanggah pendapat kedatangan Islam di Indonesia yang dikemukakan oleh Muquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje. Fatimi berpendapat bahwa nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan dan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Pendapat Keempat
S.Q. Fatimi adalah salah seorang yang berpendapat tentang sejarah Islam di Indonesia dan sekaligus menyanggah pendapat kedatangan Islam di Indonesia yang dikemukakan oleh Muquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje. Fatimi berpendapat bahwa nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan dan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih lanjut Fatimu juga percaya bahwa pengaruh-pengaruh Islam
di Benggala sangat banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara pada
zaman dahulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia sebenarnya berasal
dari Bangladesh.
Pendapat Kelima
G.E. Marrison juga seorang yang pernah mengemukakan pendapat tentang keberadaan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam pendapatnya tersebut Marrison juga menyanggah pendapat Moquette, bahkan dia sendiri malah yakin, jika Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Adapun sebagai alasannya adalah karena pada abad ke-13M, Gujarat masih menjadi bagian dari kerajaan Hindu, sementara di Pantai Coromandel, Islam telah berkembang.
Pendapat Kelima
G.E. Marrison juga seorang yang pernah mengemukakan pendapat tentang keberadaan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam pendapatnya tersebut Marrison juga menyanggah pendapat Moquette, bahkan dia sendiri malah yakin, jika Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Adapun sebagai alasannya adalah karena pada abad ke-13M, Gujarat masih menjadi bagian dari kerajaan Hindu, sementara di Pantai Coromandel, Islam telah berkembang.
Morrison juga memperkirakan bahwa pembawa dan penyebar Islam
yang pertama masuk ke Indonesia adalah para Sufi dari India. Para Sufi tersebut
menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13
M, dimana waktu itu terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh
orang-orang Mongol.
Adapun pernyerbuan yang dimaksud adalah penyerbuan yang memaksa
banyak para Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan
ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Pendapat Keenam
Pendapat keenam tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan oleh Hoesein Djajaningrat. Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Pendapat keenam tentang masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan oleh Hoesein Djajaningrat. Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurut Djajaningrat, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari
Persia. Adapun sebagai alasan Djajaningrat mengemukakan pendapat tersebut
adalah berdasarkan peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari
kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari
perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai
perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga meyakini pendapat tersebut, karena pengaruh
bahasa Persia juga masih dapat ditemukan dibeberapa tempat di Indonesia. Selain
itu keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia
menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi
ekstrim yang berasal dari Persia.
Kesimpulan
Terlihat berbagai perbedaan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia oleh berbagai tokoh dan juga para peneliti. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat.
Kesimpulan
Terlihat berbagai perbedaan pendapat tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia oleh berbagai tokoh dan juga para peneliti. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat.
Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih
mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan
perkiraan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat mereka dapat dikatakan lebih logis,
meski dapat juga menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali
berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13, yaitu lebih belakangan
ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Begitu juga dengan pendapat Residen Poortman. Meski pendapatnya
tersebut berdasarkan catatan-catatan dari Cina yang tersimpan bertahun-tahun,
tetapi masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernytaan tertulis yang
ada di dalamnya. Selain itu bisa pula ada kemungkinan adanya manipulasi data
tanpa sepengetahuan pembaca.
Adapun pendapat Hamka bahkan akan lebih mudah untuk terjerumus
ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Adapun
pendapat yang dikemukakan oleh Hamka hanya berdasarkan pikiran-pikiran pribadi
yang tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Oleh demikian maka sangat
kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Begitupula dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan
yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip
pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi.
Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka,
bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang kemungkinan
bakalan ada.
No comments :
Post a Comment